Gaplek zebra Zamzami telah menembus pasar Singapura melalui sebuah perusahaan di Surabaya. Gaplek yang terbuat dari ketela pohon (Manihot utilissima) kering itu juga telah menjadi langganan dua koperasi pakan ternak di Rembang.
Setiap bulan, Zamzami mampu menghasilkan 200 ton ketela pohon, bahan baku gaplek. Ketela pohon sebanyak itu dapat menjadi gaplek sekitar 150 ton per bulan karena ada bagian-bagian tertentu dari ketela pohon yang dibuang.

Capaian Zamzami itu tidak terlepas dari filosofi hidupnya, "bangkit dari tidur." Manusia harus berusaha segiat mungkin tidak sekadar bermimpi dan jeli mencari celah-celah usaha.
Filosofi itu pun dia ungkapkan dalam sebuah proposal ajakan kerja sama yang ditujukan kepada Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Kebunharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Lebih kurang, Zamzami menuliskan begini, ”Memijakkan kaki di lahan yang tidur untuk menggugah pola pikir masyarakat yang tidur.”
Zamzami memulai bisnisnya dari tiga kegundahan hatinya. Pertama, dia khawatir setelah lulus kuliah menganggur. Kedua, di desanya terlalu banyak lahan kosong yang belum dimanfaatkan. Ketiga, di desanya banyak penganggur dan buruh tani yang membutuhkan penghasilan lain saat tidak menggarap lahan.
Bersamaan dengan itu, gerakan penanaman ketela pohon sebagai bahan baku bioetanol sedang gencar di Kabupaten Pati dan Rembang. Bahkan, ada rencana membangun pabrik mini pengolahan bioetanol.
”Saya menganggap itu sebagai peluang mengembangkan usaha. Waktu itu, saya ingin memanfaatkan lahan kosong Perhutani untuk ditanami ketela pohon,” ujar Zamzami seperti dikutip Kompas.
Zamzami menceritakan kegundahan, keinginan, dan impian itu kepada orangtuanya, Yahya (45) dan Fasiah (40). Orangtua Zamzami pun mendukung. Mereka bahkan memberikan modal dengan menjual tanah keluarga senilai Rp 100 juta.
”Ayah saya juga memberikan nasihat hidup yang selalu terngiang. Kalau kerja jangan sampai ikut orang. Lebih baik usaha sendiri meski untungnya sedikit itu hasil jerih payah sendiri,” kata Zamzami.
Dengan mengajak sejumlah rekan lain agar ikut menambah modal, Zamzami membuka tempat usaha, Wana Jati Utama Sejahtera. Dengan modal yang terkumpul Rp 225 juta, usaha pun bergulir.
Zamzami memanfaatkan modal untuk menyewa lahan tidur Perhutani seluas 70 hektar selama dua kali musim tanam. Per hektar lahan, Zamzami harus membayar Rp 200.000.
Setelah membersihkan dan mengolah tanah lahan tidur itu, Zamzami menanam ribuan stek ketela pohon. Dalam delapan bulan, Zamzami mampu memanen sekitar 18 ton ketela pohon per hektar lahan. Dia memperkirakan, dengan lahan 70 hektar, ketela pohon yang dipanen mencapai 1.260 ton.
Melalui usaha itu, Zamzami mampu merangkul sekitar 200 tenaga kerja lokal. Mereka itu para pemuda desa yang menganggur, para istri buruh tani, dan buruh tani yang ingin mencari tambahan penghasilan. Perempuan mendapat upah Rp 17.500 per hari, sedangkan lelaki Rp 20.000-Rp 25.000 per hari. ”Mereka bekerja secara bergantian, mulai dari babat hutan, menanam, merawat tanaman, memanen, merajang ketela, mengeringkan, hingga mengepak gaplek,” kata Zamzami.
Namun, saat mendekati masa panen ketela pohon, kabar mengenai pembangunan pabrik bioetanol semakin kabur. Zamzami bahkan mendengar langsung, pabrik itu tidak jadi didirikan. Akibatnya, sejumlah petani penanam ketela pohon kelimpungan menjual panenan.
Harga ketela pohon pun jatuh drastis, dari Rp 900 per kg menjadi Rp 300 per kg. Lantaran tidak mau merugi, Zamzami berupaya mencari pasar lain penampung hasil panen ketela pohon. ”Akhirnya, saya memilih menjadikan panen ketela pohon itu sebagai gaplek karena tren pasarnya sedang naik. Harganya pun relatif bagus. Harga gaplek Rp 900 per kg,” ujar Zamzami. Dia pun sukses dengan berbisnis gaplek. Produknya bahkan diekspor ke luar negeri.
SUMBER : (http://www.ciputraentrepreneurship.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar